KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat yang diberikan Tuhan, kami dapat menyelesaikan
paper yang berjudul “Pariwisata Bentuk Kolonialisme Baru” tepat pada waktunya.
Paper ini disusun berdasarkan fakta-fakta yang kami
peroleh dari sumber pustaka terkait dengan perkembangan pariwisata di Bali. Dalam penyusunan paper ini tidak lepas dari partisipasi,
dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan
ini kami mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya.
Kami
menyadari bahwa
paper ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu kami
sangat mengharapkan saran serta masukan yang bersifat
membangun demi peningkatan kualitas penyusunan paper ini.
Akhir kata kami mengucapkan terima kasih dan semoga paper ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Denpasar, 03 Juni 2015
Penulis
DAFTAR ISI
JUDUL
KATA
PENGANTAR.................................................................................................. i
DAFTAR
ISI................................................................................................................ ii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. ................................................................................................ Latar
Belakang 1
1.2. ................................................................................................ Rumusan
Masalah 2
1.3. ................................................................................................ Tujuan
Penelitian 2
BAB II. KAJIAN
PUSTAKA
2.1. ................................................................................................ Pariwisata 3
2.2. ................................................................................................ Kolonialisme
Baru 4
2.3. ................................................................................................ Globalisasi 5
BAB .. III. PEMBAHASAN
3.1. Bentuk-bentuk Kolonialisme Baru..................................................... 7
3.2.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kolonialisme Baru...................... 9
3.3. Objek daya tarik............................................................................... 10
3.4. Pengaruh Pariwisata Sebagai Kolonialisme Baru............................. 11
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
............................................................................................. 14
4.2. Saran
....................................................................................................... 14
DAFTAR
PUSTAKA ............................................................................................... 15
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Kolonialisme
di era modern tidak selalu dilakukan dengan menggunakan kekuatan senjata secara
fisik, namun dapat dilakukan secara non fisik. Penjajahan ekonomi adalah salah
satu bentuk kolonialisme modern yang paling mudah diamati. Penjajahan ekonomi
dapat dilakukan dengan berbagai cara sehingga membuat suatu bangsa menjadi
sangat ketergantungan. Secara fisik Indonesia memang sudah merdeka pada tanggal
17 Agustus 1945 silam, namun dari sisi lain Indonesia masih terjajah.
Indonesia
memiliki potensi sumber daya alam disetiap daerah yang sangat besar. Namun
masyarakat di Indonesia belum sepenuhnya dapat mengembangkan dan mengelola
sumber daya alam tersebut. Pendidikan, keterampilan serta modal yang dimiliki
masyarakat Indonesia masih kurang. Kepedulian masyarakat untuk mencari
inovasi-inovasi baru juga tergolong rendah. Pada akhirnya keadaan seperti itu
dimanfaatkan oleh negara-negara maju. Dengan dalih globalisasi, negara maju
mulai menjajah Indonesia dengan penjajahan model baru. Melalui perdagangan
bebas, investasi-investasi hingga mempengaruhi pemerintah dalam membuat
kebijakan-kebijakan. Melalui globalisasi, negara berkembang termasuk Indonesia
kembali dijajah saat ini. Dengan dalih membuka lapangan pekerjaan dan persaingan
global, pihak-pihak asing mulai menginvestasikan hampir sebagian besar dananya ke Negara
berkembang terutama di bidang perekonomian.
Di antara sekian banyak cara kolonialisme baru, pariwisata
masal juga harus disebutkan. Selain berbahaya karena terlihat nyata di depan
mata, pariwisata masal di negara-negara berkembang memiliki karakter yang
sangat eksploitatif. Alasan utamanya adalah terletak pada hubungan yang tidak
setara antara wisatawan, yang secara ekonomi kaya dan dominan, dengan penduduk
setempat yang umumnya miskin. Ketidaksetaraan ini dapat memiliki efek yang
dramatis. Dua efek yang langsung bisa disebutkan di sini, yang pertama,
pariwisata masal di Asia Tenggara menjadi lebih berkembang. Di Indonesia dan kawasan
Asia Tenggara lainnya, pariwisata telah berkembang menjadi industri besar.
Kedua, di daerah tujuan wisata populer seperti Bali, pariwisata masal dengan
cepat mengubah budaya lokal menjadi komoditas global. Dengan kondisi seperti
ini dan dengan banyak cara lainnya, kebanyakan negara berkembang telah menjadi
sangat tergantung dari segala macam keterlibatan asing.
Dampak
globalisasi di pulau Bali sebagai salah satu daerah tujuan wisata di dunia
secara langsung terkena imbas. Perkembangan pariwisata yang sangat pesat di
Bali, menyebabkan meningkatnya aktivitas disegala bidang kehidupan terutama
bidang ekonomi. Pembangunan besar-besaran menjadi pengaruh pariwisata yang
sangat jelas terlihat dipulau dewata. Salah satu diantaranya perkembangan jasa
akomodasi, baik hotel, home stay, vila, dan penginapan. Kepemilikan aset berupa
tanah dan bangunan secara besar-besaran di wilayah bali menunjukkan salah satu
bentuk kolonialisme dalam dunia pariwisata. Banyak pihak asing yang menjadi
pemilik aset tersebut sedangkan orang Bali selaku tuan rumah hanya sebagai
tenaga kerja.
1.2.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.
1) Bagaimana
bentuk-bentuk kolonialisme baru dalam pariwisata ?
2) Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi
kolonialisme dalam pariwisata ?
3) Bagaimana
dampak kolonialisme baru dalam pariwisata ?
1.3.
Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam
makalah ini yaitu sebagai berikut.
1) Untuk
mengetahui bentuk-bentuk kolonialisme baru dalam pariwisata.
2) Untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kolonialisme dalam pariwisata.
3) Untuk
mengetahui dampak kolonialisme baru dalam pariwisata.
BAB II
KAJIAN
PUSTAKA
2.1
Pariwisata
Pengertian pariwisata
menurut Undang – Undang No. 10 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 3 dimana yang dimaksud
dengan pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai
fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah
dan pemerintah daerah. Sementara itu pengertian kepariwisatan menurut Undang –
Undang No. 10 tahun 2009 pasal 1 ayat 4 adalah keseluruhan kegiatan yang
terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang
muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara, serta interaksi antara
wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah
daerah dan pengusaha.
Menurut Oka (1996) pariwisata
adalah suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu yang
diselengarakan dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan maksud tujuan bukan
untuk berusaha atau mencari nafkah di tempat yang di kunjungi, tetapi
semata-mata menikmati perjalanan tersebut untuk memenuhi kebutuhan/keinginan
yang bermacam-macam. Salah satu yang sangat berhubungan dengan pariwisata yaitu
obyek wisata yang mempunyai pengertian yaitu tempat atau keadaan alam yang
memiliki sumber daya wisata yang dibangun dan dikembangkan sehingga mempunyai
daya tarik dan diusahakan sebagai tempat yang di kunjungi wisatawan. Obyek
wisata dapat berupa obyek wisata alam seperti gunung, danau, sungai, pantai,
laut atau berupa obyek wisata bangunan seperti museum, benteng, situs
peninggalan sejarah dan lain-lain. Berdasarkan definisi diatas maka pariwisata
merupakan aktifitas manusia untuk sementara waktu yang dilakukan secara sadar
dari satu tempat ke tempat lain dengan tujuan untuk bersenang-senang bukan
mencari nafkah dengan berbagai kegiatan pariwisata.
2.2
Kolonialisme
Baru
Koloni berasal dari
kata colonia (bahasa Latin) yang
artinya tanah pemukiman (jajahan) jadi koloni berarti pemukiman suatu negara di
luar wilayah negaranya yang kemudian dinyatakan sebagai bagian wilayahnya. Adapun kolonialisme mengandung arti
upaya penguasaan atas suatu wilayah oleh negara penguasa untuk memperluas
daerahnya atau wilayahnya. Penguasaan daerah tersebut umumnya dilakukan secara
paksa untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi negara induk (motherland). Kolonialisme adalah pengembangan kekuasaan sebuah
negara atas wilayah dan manusia di luar batas negaranya, seringkali untuk
mencari dominasi ekonomi dari sumber daya, tenaga kerja, dan pasar wilayah
tersebut. Istilah ini juga menunjuk kepada suatu himpunan keyakinan yang
digunakan untuk meresmikan atau mempromosikan sistem ini, terutama kepercayaan bahwa moral
dari pengkoloni lebih hebat ketimbang yang dikolonikan (Wikipedia, 2014).
Koloni merupakan
negeri, tanah jajahan yang dikuasai oleh sebuah kekuasaan asing selain itu koloni merupakan satu kawasan diluar wilayah negara
asal. Tujuan utama
kolonialisme adalah kepentingan ekonomi, kebanyakan
koloni yang yang dijajah adalah wilayah yang kaya akan bahan mentah, keperluan
untuk mendapatkan bahan mentah adalah dampak dari terjadinya Revolusi Industri
di Inggris. Istilah kolonialisme bermaksud memaksakan satu bentuk pemerintahan
atas sebuah wilayah atau negeri lain (tanah jajahan) atau satu usaha untuk
mendapatkan sebuah wilayah baik melalui paksaan atau dengan cara damai.
Usaha untuk mendapatkan
wilayah biasanya melalui penaklukan. Penaklukan atas sebuah wilayah bisa
dilakukan secara damai atau paksaan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pada mulanya mereka membeli barang dagangan dari penguasa lokal, untuk
memastikan pasokan barang dapat berjalan lancar mereka kemudian mulai campur
tangan dalam urusan pemerintahan penguasa setempat dan biasanya mereka akan
berusaha menjadikan wilayah tersebut sebagai tanah jajahan mereka. Negara yang
menjajah menggariskan panduan tertentu atas wilayah jajahannya, meliputi aspek
kehidupan sosial, pemerintahan, undang-undang dan sebagainya.
Sejarah perkembangan
kolonialisme bermula ketika Vasco da Gama dari Portugis berlayar ke india pada
tahun 1498. Di awali dengan pencarian jalan ke Timur untuk mencari sumber
rempah-rempah. Perlombaan mencari tanah jajahan dimulai. Kuasa Barat Portugis
dan Spanyol kemudian diikuti Inggris dan Belanda berlomba-lomba mencari daerah
penghasil rempah-rempah dan berusaha menguasainya. Penguasaan wilayah yang
awalnya untuk kepentingan ekonomi akhirnya beralih menjadi penguasaan atau
penjajahan politik yaitu campur tangan untuk menyelesaikan pertikaian, perang
saudara, dan sebagainya. Ini karena penguasa kolonial tersebut ingin menjaga
kepentingan perdagangan mereka daripada pergolakan politik lokal yang bisa
mengganggu kelancaran perdagangan mereka.
Kolonialisme berkembang
pesat setelah perang dunia I. Sejarah kolonialisme Eropa dibagi dalam tiga
peringkat. Pertama dari abad 15 hingga Revolusi industri (1763) yang
memperlihatkan kemunculan kuasa Eropa seperti Spanyol dan Portugis. Kedua,
setelah Revolusi Industri hingga tahun 1870-an. Ketiga, dari tahun 1870-an
hingga tahun 1914 ketika meletusnya Perang Dunia I yang merupakan puncak
pertikaian kuasa-kuasa imperialis.
2.3
Globalisasi
Kata globalisasi sebenarnya merupakan serapan dari bahasa
asing yaitu bahasa Inggris globalization. Kata globalization
sendiri sebenarnya berasal dari kata global yang berarti universal yang
mendapat imbuhan -lization yang bisa dimaknai sebagai proses. Jadi dari
asal mula katanya, globalisasi bisa diartikan sebagai proses penyebaran
unsur-unsur baru baik berupa informasi, pemikiran, gaya hidup maupun teknologi
secara mendunia (Wikipedia, 2015).
Globalisasi diartikan sebagai suatu proses dimana bata-batas
suatu negara menjadi semakin sempit karena kemudahan interaksi antara negara
baik berupa pertukaran informasi, perdagangan, teknologi, gaya hidup dan
bentuk-bentuk interaksi yang lain.
Globalisasi juga bisa dimaknai
sebagai proses dimana pengalaman kehidupan sehari-hari, ide-ide dan informasi
menjadi standar di seluruh dunia. Proses tersebut diakibatkan oleh semakin
canggihnya teknologi komunikasi dan transportasi serta kegiatan ekonomi yang
merambah pasar dunia.
Seperti dua mata koin yang berbeda,
globalisasi menawarakan keuntungan yang sangat besar dalam kemajuan
perekonomian suatu negara tapi disisi lain ada juga damapak negatif yang
ditimbulkan seperti lunturnya budaya luhur karena serbuan budaya baru dari
luar.
Globalisasi memengaruhi hampir semua aspek
yang ada di masyarakat, termasuk diantaranya aspek budaya. Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat
ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal.
Baik nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek
kejiwaan/psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran. Aspek-aspek
kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku
seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang
bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan seseorang adalah kesenian, yang merupakan subsistem
dari kebudayaan. Globalisasi
sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu keseluruh dunia (sehingga menjadi
budaya dunia atau world culture)
telah terlihat semenjak lama. Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini
dapat ditelusuri dari perjalanan para penjelajah Eropa Barat ke berbagai tempat di dunia ini (Lucian,
1966). Namun, perkembangan globalisasi kebudayaan secara intensif terjadi pada
awal ke-20 dengan berkembangnya teknologi komunikasi. Kontak melalui
media menggantikan kontak fisik sebagai sarana utama komunikasi antar bangsa.
Perubahan tersebut menjadikan komunikasi antar bangsa lebih mudah dilakukan,
hal ini menyebabkan semakin cepatnya perkembangan globalisasi
kebudayaan.Semakin bertambah globalnya berbagai nilai budaya kaum kapitalis
dalam masyarakat dunia. Merebaknya gaya berpakaian barat di negara-negara
berkembang.
BAB III
PEMBAHASAN
Pada masa penjajahan,
pemerintah kolonial Belanda sudah melihat potensi pulau Bali yang dapat
meningkatkan pendapatan mereka, potensi itu tentunya adalah pariwisata. Maka
dibentuklah instrumen-instrumen pendukung proyek pariwisata. Secara umum pariwisata telah menjadi
industri sipil yang terpenting didunia. Menurut dewan perjalanan dan pariwisata
Dunia (World Travel and Tourism Council-WTTC).
Saat
ini pariwisata merupakan industri terbesar didunia dengan menghasilkan
pendapatan dunia lebih dari $3,5 trillun pada tahun 1993 atau 6% dari
pendapatan kotor dunia. Pariwisata merupakan industri yang lebih besar
dari industri kendaraan, baja, elektronik maupun pertanian. Industri
pariwisata memperkerjakan 127 juta pekerja (WTTC, 1992).
Pulau Bali sebagai salah satu daerah tujuan wisata didunia
juga secara langsung terkena imbas dari perkembangan industri pariwisata itu
sendiri. Perkembangan kepariwisataan yang sangat pesat di Bali, menyebabkan
meningkatnya aktivitas di segala bidang kehidupan terutama di bidang ekonomi.
Pembangunan yang besar-besaran menjadi pengaruh pariwisata yang sangat jelas
terlihat di pulau Dewata ini.
Salah satu industri pariwisata yang sangat menonjol perkembangannya
adalah jasa akomodasi baik hotel, home stay, villa,
dan penginapan dengan berbagai jenis prasarana dan sarana yang
melengkapinya.
3.1
Bentuk-Bentuk Kolonialisme Baru
Pariwisata sangat mempengaruhi aspek ekonomi suatu wilayah.
Bila aspek ekonomi menonjol maka aspek kapitalisasi dan komodifikasi alam dan
lingkungan hidup tidak bisa dihindarkan. Bahkan Karim (2008:7) menilai bahwa
harapan pemerintah untuk menjadikan sektor pariwisata sebagai sumber
kemakmuran, meningkatkan pendapatan masyarakat dan memperluas lapangan kerja
perlu dipertanyakan. Beberapa kasus di daerah, menunjukkan bahwa pengembangan
pariwisata pada akhirnya tidak memberikan sumbangan kesejahteraan masyarakat di
daerah bahkan menunjukkan gejala bentuk baru kolonialisme (neo-colonialism) yang
mengakibatkan masyarakat lokal tidak berdaya menghadapi kekuatan kapital besar
yang masuk.
Dengan demikian pariwisata dapat menjadi senjata kapital
yang tidak membangun, namun justru menghancurkan negara berkembang yang sangat
membutuhkan investor untuk membangun. Mungkin perlu dikritisi paradigma
pembangunan liberal yang dalam perspektif barat yang selama ini dianggap
merupakan kunci keberhasilan pembangunan Indonesia.
Penjelasan
tersebut di atas dapat dilihat dari kecenderungan pemerintah, termasuk
pemerintah daerah untuk ramah kepada investor luar sehingga investor asing
menguasai jaringan bisnis wisata dari hulu bahkan sampai hilir. Hal dapat kita
temui misalnya, kepemilikan jaringan perhotelan, penerbangan internasional,
operator wisata, operasi kapal wisata. Jaringan pariwisata tersebut tidak
memberi nilai tambah bagi tenaga kerja lokal. Persoalannya sering bukan karena
ketidakmampuan penduduk lokal dalam mengerjakan pekerjaan jasa pariwisata,
namun juga diakibatkan pandangan diskriminatif para manajer atau pemilik modal
terhadap penduduk lokal.
Hotel-hotel
internasional misalnya,
tidak menyerap tenaga
kerja di level manajemen
puncak dan menengah,
bahkan untuk profesi
yang membutuhkan keahlian yang tinggi, termasuk seperti Chef (juru masak)
didatangkan dari asing. Penyerapan tenaga kerja hanya ada di level bawah,
misalnya penerima tamu, penata kamar, atau kebersihan. Di sisi lain, makanan,
minuman dan buah yang disajikan di hotel-hotel tersebut juga diimpor sedangkan
makanan lokal sering dianggap belum terstandar. Demikian juga dengan penguasaan
lahan, terjadi marginalisasi (peminggiran) masyarakat lokal dan semakin jauh
dari pusat-pusat ekonomi, maka semakin kecil pula kemampuan mereka mengambil
manfaat ekonomis dari industri pariwisata.
Menurut Sutarso bentuk-bentuk marginalisasi penduduk lokal
dapat berupa: Pertama, pada bidang
ekonomi, terjadinya dominasi ekonomi berupa perluasan faktor-faktor produksi
seperti tanah, tenaga kerja, komoditas ekspor pengenaan pajak baru sehingga
semakin berat beban masyarakat. Hal ini mengakibatkan masyarakat marginal
sangat tergantung pada pemilik modal atau penguasa. Kedua, dalam bidang
politik, terjadi hubungan yang tidak wajar sehingga terjadi ketegangan dan
ketidakserasian. Penempatan penguasa pada posisi yang kuat dapat mendesak
lembaga-lembaga lokal untuk mengikutinya. Selain itu masyarakat lokal lebih banyak
dikontrol karena tidak memiliki organisasi yang mapan, baik secara politik dan
ekonomi yang mampu membela kepentingan-kepentingannya.Ketiga, dibidang budaya,
terjadi desakan terhadap norma-norma yang ada sehingga masyarakat kehilangan
orientasi. Persinggungan orientasi kebudayaan pendatang dengan kebudayaan
setempat dapat menimbulkan konflik budaya sehingga menimbulkan gegar budaya
yang dapat merusak kebudayaan masyarakat setempat. Oleh karena itu,
pemeliharaan orientasi budaya setempat harus dibarengi dengan upaya terus
menerus dan kemampuan menerima perbedaan budaya bangsa-bangsa lain.
3.2
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Kolonialisme Dalam Pariwisata
A. Pendidikan
Pendidikan yang diberikan di sekolah-sekolah pariwisata
dari tingkat SMK sampai Diploma adalah pendidikan yang cendrung mendidik sumber
daya manusia untuk menjadi pekerja kelas bawah seperti waiter, waitress, cook,
bellboy, room attendant, mechanic, engineer, security dan lain-lain. Pendirian
sekolah-sekolah seperti ini harus ditinjau kembali karena berdampak terhadap
kualitas sumber daya manusia dan kehidupannya di masa yang akan datang
B. Sosial Budaya
Kreatifitas masyarakat
lokal dalam mengembangkan daerahnya menjadi objek daya tarik wisata tanpa
bantuan investor masih rendah. Kebanyakan menunnggu datangnya investor.
Masyarakat lokal juga kurang memperhatikan lingkungan daerahnya agar tidak
dikuasai investor. Selain itu keanekaragaman budaya yang dimiliki Bali bukan hanya
sebagai peluang (opportunity) tetapi juga sebagai ancaman (threat). Kegiatan
keagamaan dan adat yang merupakan bagian dari budaya Bali merupakan faktor
penghambat majunya sumber daya manusia Bali di industri pariwisata. Kewajiban
untuk mengikuti kegiatan keagamaan dan adat merupakan hal yang mutlak dilakukan
oleh setiap orang Bali karena mereka sebagai masyarakat sosial yang terikat
dengan adat istiadat di desa asalnya.
C. Objek Daya Tarik
Menurut Ardika (Kompas,
Senin, 13 Maret 2006) Kepariwisataan ada dan tumbuh karena perbedaan, keunikan,
kelokalan baik itu yang berupa bentang alam, flora, fauna maupun yang berupa
kebudayaan sebagai hasil cipta, karsa, rasa dan budhi manusia.
Tanpa perbedaan itu, tak akan ada kepariwisataan, tidak ada orang yang
melakukan perjalananatau berwisata. Oleh karena itu, melestarikan alam dan
budaya serta menjunjung kebhinekaan
adalah fungsi utama kepariwisataan. Alam dan budaya dengan segala keunikan dan
perbedaannya adalah aset kepariwisataan yang harus dijaga kelestariannya.
Hilangnya keunikan alam dan budaya, berarti hilang pulalah kepariwisataan itu.
Dengan
berlandaskan prinsip keunikan dan kelokalan, kepariwisataan Indonesia didasari oleh falsafah hidup bangsa
Indonesia, yaitu konsep prikehidupan yang berkeseimbangan. Seimbangnya
hubungan manusia dengan Tuhan, seimbangnya hubungan manusia dengan sesamanya,
seimbangnya hubungan manusia dengan lingkungan alam. Konsep ini mengajarkan
kepada kita untuk menjunjung nilai-nilai luhur agama serta mampu mengaktualisasikannya,
menghargai nilai-nilai kemanusiaan, toleran, kesetaraan, kebersamaan,
persaudaraan, memelihara lingkungan alam. Kesadaran untuk menyeimbangkan
kebutuhan materi dan rokhani, seimbangnya pemanfaatan sumber daya dan
pelestarian. Konsep ini juga menempatkan manusia sebagai subyek. Manusia dengan
segala hasil cipta, rasa, karsa, dan budhinya adalah budaya. Dengan demikian
kepariwisataan Indonesia adalah kepariwisataan yang berbasis masyarakat (community based tourism) dan berbasis
budaya (cultural tourism).
Kepariwisataan yang dibangun dengan prinsip dari masyarakat, oleh masyarakat
dan untuk masyarakat.
3.3 Pengaruh Pariwisata
Sebagai Kolonialisme Baru
Sebagai bagian dari Indonesia, Bali
juga mendapat pengaruh
dari perubahan-perubahan yang terjadi di bidang teknologi, komunikasi, ekonomi, politik hingga budaya.
Perubahan dari era pemerintahan Soeharto (orde baru) ke era pemerintahan
pasca-Soeharto (reformasi) misalnya, membawa pengaruh kuat bagi kehidupan
sosial dan politik di Bali, yang pada akhirnya mendorong terjadinya perubahan
dalam berbagai aspek. Berikut ini dampak yang terjadi akibat dari pengaruh
perubahan- prubahan di bidang teknologi, ekonomi, komunikasi hingga budaya.
A. Perubahan Mata Pencaharian
Sebelum era 70an, mata pencaharian masyarakat
Bali lebih banyak sebagai petani dan sebagian kecilnya pedagang. Di era 80an,
mata pencaharian mulai bergeser ke pegawai pariwisata (pegawai hotel, travel,
guide, sopir, dsb)
dan pengerajin. Belakangan
ini, berbagai macam profesi di jalani oleh masyarakat Bali; mulai dari pedagang
HP hingga pedagang narkoba, mulai dari pengusaha hotel hingga pengusaha café
remang-remang, mulai dari calo tanah sampai calo perkara, mulai dari moderator
talk show sampai key speaker seminar, mulai dari tukang parkir sampai tukang
tagih (debt-collector).
B. Perubahan Aktivitas dan Etos Kerja
Sebelum
era dimana sebagian besar masyarakat berstatus petani, etos kerja masyarakat
Bali mungkin terlihat lamban dan cenderung santai. Tentu saja, karena aktivitas
bertani memang tidak bisa diburu-buru, semua memakai hitungan masa (misalnya:
padi baru bisa dipanen setelah berusia 3 bulan, tidak bisa dipercepat).Banyaknya
waktu luang inilah yang membuat masyarakat Bali, di era itu, selalu punya waktu
untuk aktivitas-aktivitas berkesenian dan melestarikan budaya (misalnya:
mekekawin, megeguritan, megenjekan, megambel, menari, main arja, ngerindik, meniup
seruling, membaca lontar, dsb). Sehingga bagi orang di luar Bali, etos kerja masayarakt Bali pada saat itu dianggap santai.
Etos
kerja masyarakat Bali saat ini sudah berubah drastis, menjadi super sibuk, “time-is-money”
kata mereka. Perubahan ini tentu terjadi akibat perubahan mata pencaharian yang
begitu drastis dan ledakan angkatan kerja yang mengakibatkan kempetisi menjadi
begitu ketat. Libur sehari untuk menengok upacara keluarga misalnya, jatah
antrean nyupir di halaman hotel sudah diambil-alih orang lain. Tutup kantor
sekali, pelanggan sudah marah-marah.Sehingga, hampir sudah tidak ada waktu lagi
untuk ‘menyama-braya’. Melihat orang
bertegur sapa di jalanan, saat ini, adalah kejadian langka, ajaib, atau malah
dipandang aneh (“terlalu basa-basi, lebian tutur,” kata mereka), kecuali di
desa-desa yang jauh di kaki bukit sana.
C. Perubahan
Gaya Hidup dan Pergaulan.
Mata
pencaharian dan profesi yang berubah juga berakibat pada perubahan gaya hidup.
Aktivitas dan kehidupan masyarakat Bali di jaman dahulu yang lebih banyak
berada di sekitar desa dan balai banjar kini sudah jauh bergeser. Mereka lebih
banyak beraktifitas mengikuti perkembangan zaman, baik tua maupun muda semua
mengikuti
D. Perubahan
Orientasi dan Pola Pikir
Ledakan
pertumbuhan penduduk ditambah transmigran dari luar pulau, membuat kompetisi
hidup di Bali menjadi semakin ketat. Diantara masalah-masalah hidup lainnya,
survivalitas kini telah menjadi perioritas utama. Masyarakat Balipun tidak
terkecuali.
Orang
Bali dahulu, yang dikagumi oleh orang barat, menempatkan norma di atas
segalanya, apa-apa menggunakan ukuran normatif, mereka memegang prinsip “lek” (malu, nggak enak), bahkan untuk
mengambil sesuatu yang menjadi haknya sekalipun. Itu sebabnya orang asing
senang dan percaya sepenuhnya dengan orang Bali. Bukan karena orang asingnya
pelit atau memanfaatkan sifat pemalunya orang Bali jaman dahulu, melainkan
karena sangat menghargai pola pikir dan orientasi orang Bali yang jauh dari
ketamakan.
Orang
Bali yang sekarang, cenderung pragmatis; kalau sudah urusan uang/harta tak ada
istilah “lek”. Hal ini bisa dilihat
dari bagaimana para pedagang acung, di daerah wisata, yang kerap setengah
memaksa turis untuk membeli barang dagangannya. Ada juga kasus dimana orang
Bali yang dipercaya mengelola perusahaan oleh orang asing, mengambil-alih
perusahaan tersebut karena namanya dipakai di dalam akte
perusahaan. Contoh lainnya adalah penjualan barang-barang pusaka warisan
leluhur, pencurian ‘pretima’, dan
lain sebagainya.
Ada
pergeseran pola pikir dan orientasi yang sangat drastis di Bali. Yang namanya ‘saling asah-asih-dan-asuh’, saat ini,
hanya bisa di temukan di lontar-lontar atau acara dharma wacana, sulit kita
temukan dalam pelaksanaan sehari-hari.
Entah
disadari atau tidak, kekaguman dan kepercayaan orang asing terhadap
kesederhanaan pola pikir dan orientasi orang Bali saat ini, sudah jauh merosot
dibandingkan dahulu. Dahulu, banyak orang asing yang mengadopsi orang Bali
untuk dijadikan anak atau saudara, bahka sampai mewariskan harta bendanya.
Sekarang jarang atau mungkin memang sudah tidak pernah ada lagi.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pulau Bali adalah salah
satu daerah kunjungan wisata di dunia dengan kedatangan wisatawan yang
meningkat setiap tahunnya. Perkembangan industri pariwisata yang merupakan industri utama di pulau Bali menyebabkan
adanya perkembangan infrastruktur dan
pembangunan yang cukup pesat. Sementara pembangunan di Bali dikuasai
oleh investor yang dapat
dilihat dari tindakan para investor yang selalu memiliki pandangan
deskriminatif terhadap penduduk lokal, seperti dalam pencarian orang-orang
penting didalam jabatan pariwisata selalu didatangkan dari luar. Dalam
kepemilikian hotel, home stay kebanyakan investor asing yang menguasai
sedangkan penduduk lokal hanya sebagai karyawan.
4.2 Saran
Untuk mengurangi kolonialisme baru sebaiknya kita sebagai generasi muda
harus sadar untuk selalu menjaga dan melestarikan daerah kita masing-masing
agar tidak sampai dikuasai oleh para investor. Alam
dan budaya dengan segala keunikan dan perbedaannya adalah aset kepariwisataan
yang harus dijaga kelestariannya. Hilangnya keunikan alam dan budaya, berarti
hilang pula kepariwisataan itu.
DAFTAR
PUSTAKA
Ardika, I, G. Kepariwisataan Untuk Siapa?, Kompas,
Senin, 13 Maret 2006, Edisi Jawa Barat.
Karim,
Abd. (2008). Kapitalisasi Pariwisata dan Marginalisasi Masyarakat
Lokal dan Lombok. Yogyakarta. Genta Press
Lucian, W, P. (1966). Aspects of Political
Development.
Oka, Y. (1996). Edisi Revisi, Pengantar Ilmu Pariwisata.
Penerbit Angkasa. Bandung.
Sutarso, J. (2007). Model
Pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti Berbasis Budaya Lokal: Kasus Wayang
Purwo. Hasil Penelitian. Surakarta: LPPM UMS. Diunduh pada tanggal 26 Mei 2015
dari komunikasi.unsoed.ac.id/sites/default/files/35.joko%20sutarso-ums.pdf
Undang – Undang No. 10 tahun 2009
Wikipedia. (2015). Globalisasi. Diunduh pada tanggal 26 Mei 2015 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi
0 comments:
Post a Comment