PERANAN
ORANG SUCI DALAM PENYEBARAN AGAMA HINDU
DI
INDIA, INDONESIA DAN BALI
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat
rahmat-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah yang berjudul ” Peran
Orang Suci dalam Penyebaran Agama Hindu di India, Indonesia, dan Bali” yang
disusun untuk menyelesaikan tugas kuliah Pendidikan Agama Hindu. Penyelesaian
karya tulis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
- Ibuk Ni Komang Sumetri S.Ag, M.Ag selaku pembimbing teknis dan materi selama penyusunan makalah ini.
- Kepada rekan-rekan anggota kelompok yang telah banyak memberikan masukan sehingga tulisan ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya
- Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatuyang telah banyak memberikan masukan-masukan dan dukungan moral dalam penyelesaian makalah ini.
Tiada gading yang tak retak, begitu juga dengan makalah ini, masih banyak terdapat kekurangan. Oleh
sebab itu, penulis sangat mengharapkan masukan, saran, ataupun kritik yang
sifatnya membangun dari semua pihak untuk menyempurnakan makalah ini. Penulis
berharap makalah ini dapat bermanfaat khususnya umat Hindu serta masyarakat
Indonesia secara luas.
Denpasar, 08 Mei 2012
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHLUAN.......................................................................................................... 1
Latar
Belakang....................................................................................................................... 1
Rumusan
Masalah.................................................................................................................. 2
Tujuan
Penulisan.................................................................................................................... 2
Manfaat
Penulisan.................................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................... 3
2.1.
Perkembangan Agama Hindu di India............................................................................ 3
2.2.
Perkembangan Agama Hindu di Indonesia.................................................................... 6
2.2.1.
Contoh-contoh Kerajaan Hindu di Indonesia.............................................................. 8
2.3.
Perkembangan Agama Hindu di Bali............................................................................ 11
2.3.1.
Enam Tokoh Suci dalam Perkembangan Agama Hindu di Bali................................ 12
BAB III PENUTUP............................................................................................................... 17
Kesimpulan........................................................................................................................... 17
Saran..................................................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 19
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Agama Hindu merupakan agama yang paling tua di dunia. Agama Hindu (Bahasa Sanskerta: Sanātana Dharjma
"Kebenaran Abadi", dan Vaidika-Dharma ("Pengetahuan
Kebenaran") adalah sebuah agama yang berasal dari anak benua India. Agama
ini merupakan lanjutan dari agama Weda (Brahmanisme) yang merupakan kepercayaan
bangsa Indo-Iran (Arya). Agama ini diperkirakan muncul antara tahun 3102 SM
sampai 1300 SM dan merupakan agama tertua di dunia yang masih bertahan hingga
kini. Agama ini merupakan agama ketiga terbesar di dunia setelah agama Kristen
dan Islam dengan jumlah umat sebanyak hampir 1 milyar jiwa. Penganut agama Hindu sebagian besar terdapat di anak
benua India. Di sini terdapat sekitar 90% penganut agama ini. Agama ini pernah
tersebar di Asia Tenggara sampai kira-kira abad ke-15, lebih tepatnya pada masa
keruntuhan Majapahit. Mulai saat itu agama ini digantikan oleh agama Islam dan
juga Kristen. Pada masa sekarang, mayoritas pemeluk agama Hindu di Indonesia
adalah masyarakat Bali, selain itu juga yang tersebar di pulau Jawa, Lombok,
Kalimantan (Suku Dayak Kaharingan), Sulawesi (Toraja dan Bugis - Sidrap).
Sumber awal pengetahuan yang
diketahui melalui prasasti-prasasti yang telah ada pada zaman ini. Baik dari
penemuan arkeologi maupun penemuan dari kitab-kitab berupa rontal-rontal. Dan
itu menunjukkan bahwa peninggalan itu pada umumnya memperlihatkan ciri-ciri
Siwa yang amat dominan. Hal ini juga membuktikan bahwa ajaran agama Hindu yang
menyebar di Indonesia adalah agama Hindu sekte Siwa Siddanta yang termasuk
Tantrayana. Penyebaran agama Hindu tersebut dibantu oleh para MahaRsi yang
menerima wahyu dari Tuhan. Para MahaRsi inilah yang menyebarkan dari benua satu
ke benua yang lainnya hingga sampai ke Indonesia dan khususnya sampai ke Bali.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini
dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Kurangnya pendalaman umat
Hindu mengenai asal – muasal Agama Hindu yang di anutnya.
2. Kurangnya perhatian generasi muda terhadap
kebudayaan dan tradisi agama Hindu yang di anutnya
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
- Dapat mengetahui sejarah perkembangan Agama Hindu di India, Indonesia, dan Bali.
2. Meningkatkan
pengetahuan tentang Agama Hindu di India, Indonesia, dan Bali.
3. Dapat mengetahui peranan orang – orang suci penyebar Agama Hindu di India,
Indonesia, dan Bali.
4. Dapat mengetaui nama – nama orang suci
penyebar Agama Hindu di India, Indonesia, dan Bali
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang ingin dicapai dari makalah ini adalah :
1.
Dapat mengetahui sejarah
perkembangan Agama Hindu di India, Indonesia, dan Bali
2.
Meningkatkan pengetahuan tentang
Agama Hindu di India, Indonesia, dan Bali
3. Dapat mengetahui peranan orang – orang
suci penyebar Agama Hindu di India, Indonesia, dan Bali
4.
Dapat
mengetaui nama – nama orang suci penyebar Agama Hindu di India, Indonesia, dan
Bali
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. AGAMA HINDU DI INDIA
Perkembangan agama Hindu di India, pada hakekatnya dapat dibagi menjadi
4 fase, yakni Jaman Weda, Jaman Brahmana, Jaman Upanisad dan Jaman Budha. Dari
peninggalan benda-benda purbakala di Mohenjodaro dan Harappa, menunjukkan bahwa
orang-orang yang tinggal di India
pada jamam dahulu telah mempunyai peradaban yang tinggi. Salah satu peninggalan
yang menarik, ialah sebuah patung yang menunjukkan perwujudan Siwa. Peninggalan
tersebut erat hubungannya dengan ajaran Weda, karena pada jaman ini telah
dikenal adanya penyembahan terhadap Dewa - Dewa. Jaman Weda dimulai pada
waktu bangsa Arya berada di Punjab di Lembah Sungai Sindhu, sekitar 2500 s.d
1500 tahun sebelum Masehi, setelah mendesak bangsa Dravida kesebelah Selatan
sampai ke dataran tinggi Dekkan. bangsa Arya telah memiliki peradaban tinggi,
mereka menyembah Dewa-dewa seperti Agni, Varuna, Vayu, Indra, Siwa dan
sebagainya. Walaupun Dewa-dewa itu banyak, namun semuanya adalah manifestasi
dan perwujudan Tuhan Yang Maha Tunggal. Tuhan yang Tunggal dan Maha Kuasa
dipandang sebagai pengatur tertib alam semesta, yang disebut "Rta". Pada jaman ini, masyarakat dibagi atas
kaum Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra.
Pada Jaman Brahmana, kekuasaan kaum
Brahmana amat besar pada kehidupan keagamaan, kaum brahmanalah yang
mengantarkan persembahan orang kepada para Dewa pada waktu itu. Jaman Brahmana
ini ditandai pula mulai tersusunnya "Tata Cara Upacara" beragama yang
teratur. Kitab Brahmana, adalah kitab yang menguraikan tentang saji dan
upacaranya. Penyusunan tentang Tata Cara Upacara agama berdasarkan wahyu-wahyu
Tuhan yang termuat di dalam ayat - ayat Kitab Suci Weda.
Sedangkan pada Jaman Upanisad, yang
dipentingkan tidak hanya terbatas pada Upacara dan Saji saja, akan tetapi lebih
meningkat pada pengetahuan bathin yang lebih tinggi, yang dapat membuka tabir
rahasia alam gaib. Jaman Upanisad ini adalah jaman pengembangan dan penyusunan
falsafah agama, yaitu jaman orang berfilsafat atas dasar Weda. Pada jaman ini
muncullah ajaran filsafat yang tinggi - tinggi, yang kemudian dikembangkan pula
pada ajaran Darsana, Itihasa dan Purana. Sejak jaman Purana, pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti menjadi umum.
Selanjutnya, pada Jaman Budha ini, dimulai
ketika putra Raja Sudhodana yang bernama " Sidharta ", menafsirkan
Weda dari sudut logika dan mengembangkan sistem yoga dan semadhi, sebagai jalan
untuk menghubungkan diri dengan Tuhan.
Agama Hindu, dari India Selatan menyebar sampai keluar India melalui beberapa cara. Dari sekian arah penyebaran ajaran agama Hindu sampai juga di Nusantara.
Agama Hindu, dari India Selatan menyebar sampai keluar India melalui beberapa cara. Dari sekian arah penyebaran ajaran agama Hindu sampai juga di Nusantara.
2.2. AGAMA HINDU DI INDONESIA
Berdasarkan beberapa pendapat,
diperkirakan bahwa Agama Hindu pertamakalinya berkembang di Lembah Sungai
Shindu di India. Dilembah sungai inilah para Rsi menerima wahyu dari Hyang
Widhi dan diabadikan dalam bentuk Kitab Suci Weda. Dari lembah sungai sindhu,
ajaran Agama Hindu menyebar ke seluruh pelosok dunia, yaitu ke India Belakang,
Asia Tengah, Tiongkok, Jepang dan akhirnya sampai ke Indonesia. Ada beberapa
teori dan pendapat tentang masuknya Agama Hindu ke Indonesia.
1. Krom (ahli - Belanda), dengan teori
Waisya.
Dalam bukunya yang berjudul "Hindu
Javanesche Geschiedenis", menyebutkan bahwa masuknya pengaruh Hindu ke
Indonesia adalah melalui penyusupan dengan jalan damai yang dilakukan oleh
golongan pedagang (Waisya) India.
2. Mookerjee (ahli - India tahun 1912).
Menyatakan bahwa masuknya pengaruh
Hindu dari India ke Indonesia dibawa oleh para pedagang India dengan armada
yang besar. Setelah sampai di Pulau Jawa (Indonesia) mereka mendirikan koloni
dan membangun kota-kota sebagai tempat untuk memajukan usahanya. Dari tempat
inilah mereka sering mengadakan hubungan dengan India. Kontak yang berlangsung
sangat lama ini, maka terjadi penyebaran agama Hindu di Indonesia.
3. Moens dan Bosch (ahli - Belanda)
Menyatakan bahwa peranan kaum Ksatrya
sangat besar pengaruhnya terhadap penyebaran agama Hindu dari India ke
Indonesia. Demikian pula pengaruh kebudayaan Hindu yang dibawa oleh para para
rohaniwan Hindu India ke Indonesia.
4. Data Peninggalan Sejarah di Indonesia.
Data peninggalan sejarah disebutkan Rsi
Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia. Data ini ditemukan
pada beberapa prasasti di Jawa dan lontar-lontar di Bali, yang menyatakan bahwa
Sri Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia, melalui sungai
Gangga, Yamuna, India Selatan dan India Belakang. Oleh karena begitu besar jasa
Rsi Agastya dalam penyebaran agama Hindu, maka namanya disucikan dalam
prasasti-prasasti seperti:
5. Prasasti Dinoyo (Jawa Timur):
Prasasti ini bertahun Caka 628, dimana
seorang raja yang bernama Gajahmada membuat pura suci untuk Rsi Agastya, dengan
maksud memohon kekuatan suci dari Beliau.
- Prasasti Porong (Jawa Tengah)
Prasasti yang bertahun Caka
785, juga menyebutkan keagungan dan kemuliaan Rsi Agastya. Mengingat kemuliaan
Rsi Agastya, maka banyak istilah yang diberikan kepada beliau, diantaranya
adalah: Agastya Yatra, artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal
kembali dalam pengabdiannya untuk Dharma. Pita Segara, artinya bapak dari lautan, karena
mengarungi lautan-lautan luas demi untuk Dharma.
2.3. AGAMA
HINDU DI BALI
Selanjutnya agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu
di Bali diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan
adanya prasasti-prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa
Bedahulu, Gianyar. Arca ini
bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8.
Menurut uraian lontar-lontar di Bali,
bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu agama Hindu di Bali. Mpu Kuturan datang ke
Bali pada abad ke-2, yakni pada masa pemerintahan Udayana. Pengaruh Mpu Kuturan
di Bali cukup besar. Adanya sekte-sekte yang hidup pada jaman sebelumnya dapat
disatukan dengan pemujaan melalui Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad
Khayangan dan Sanggah Kemulan sebagaimana termuat dalam Usama Dewa. Mulai abad
inilah dimasyarakatkan adanya pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan sebagai
penghormatan atas jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang. Beliau
Moksa di Pura Silayukti.
Perkembangan agama Hindu selanjutnya,
sejak ekspedisi Gajahmada ke Bali (tahun 1343) sampai akhir abad ke-19
masih terjadi pembaharuan dalam teknis pengamalan ajaran agama. Dan pada masa
Dalem Waturenggong, kehidupan agama Hindu mencapai jaman keemasan dengan
datangnya Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau
sangat besar dibidang sastra, agama, arsitektur. Demikian pula dibidang
bangunan tempat suci, seperti Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu
(Klungkung).
Perkembangan selanjutnya,
setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan
sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul
dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud
Gianyar, Surya kanta tahun1925 di SIngaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga
Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di
Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha
tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23 Pebruari 1959 terbentuklah Majelis
Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23 Nopember tahun 1961 umat Hindu
berhasil menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang
menghasilkan piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan
umat Hindu. Dan pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha
Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali
dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang
selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.
2.4 ENAM TOKOH SUCI DALAM PERKEMBANGAN AGAMA HINDU DI BALI
1. DANGHYANG
MARKANDEYA
Pada abad ke-8 beliau mendapat
pencerahan di Gunung Di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan
palinggih di Tolangkir (sekarang Besakih) harus ditanami panca datu yang
terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah. Setelah
menetap di Taro, Tegal lalang - Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa
Sidhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya sewana, Bebali
(Banten), dan Pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka
ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali. Daerah tempat tinggal beliau
dinamakan Bali. Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja,
namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau
melaksanakan ajaran Siwa Sidanta menurut petunjuk-petunjuk Danghyang Markandeya
yang menggunakan bebali atau banten. Selain Besakih, beliau juga membangun
pura-pura Sad Kahyangan lainnya yaitu : Batur, Sukawana, Batukaru, Andakasa,
dan Lempuyang. Beliau juga mendapat pencerahan ketika Hyang Widhi berwujud
sebagai sinar terang gemerlap yang menyerupai sinar matahari dan bulan. Oleh
karena itu beliau menetapkan bahwa warna merah sebagai simbol matahari dan
warna putih sebagai simbol bulan digunakan dalam hiasan di Pura antara lain
berupa ider-ider, lelontek, dll. Selain itu beliau mengenalkan hari Tumpek
Kandang untuk mohon keselamatan pada Hyang Widhi, digelari Rare Angon yang
menciptakan darah, dan hari Tumpek Pengatag untuk menghormati Hyang Widhi, digelari
Sanghyang Tumuwuh yang menciptakan getah.
2. MPU SANGKULPUTIH
Setelah Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih
meneruskan dan melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan
dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan
unsur-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun sirih, daun pisang, daun janur,
buah-buahan: pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak.
Bentuk banten yang diciptakan antara lain canang sari, canang tubugan, canang
raka, daksina, peras, panyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna,
prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll. Banten dibuat
menarik dan indah untuk menggugah rasa bhakti kepada Hyang Widhi agar timbul
getaran-getaran spiritual. Di samping itu beliau mendidik para pengikutnya
menjadi sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kabayan. Beliau juga
pelopor pembuatan arca/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan
batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi
Tak kurang pentingnya, beliau mengenalkan tata cara
pelaksanan peringatan hari Piodalan di Pura Besakih dan pura-pura lainnya,
ritual hari-hari raya : Galungan, Kuningan, Pagerwesi, Nyepi, dll. Jabatan
resmi beliau adalah Sulinggih yang bertanggung jawab di Pura Besakih dan
pura-pura lainnya yang telah didirikan oleh Danghyang Markandeya.
3. MPU KUTURAN
Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana dari
Majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali. Seperti
disebutkan oleb R. Goris pada masa Bali Kuna berkembang suatu kehidupan
keagamaan yang bersifat sektarian. Ada sembilan sekte yang pernah berkembang
pada masa Bali Kuna antara lain sekte Pasupata, Bhairawa, Siwa Shidanta,
Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Diantara sekte-sekte tersebut Çiwa Sidhanta
merupakan sekte yang sangat dominan (Ardhana 1989:56). Masing-masing sekte
memuja Dewa-Dewa tertentu sebagai istadewatanya atau sebagai Dewa Utamanya
dengan Nyasa (simbol) tertentu serta berkeyakinan bahwa istadewatalah yang
paling utama sedangkan yang lainnya dianggap lebih rendah.Perbedaan-perbedaan
itu akhirnya menimbulkan pertentangan antara satu sekte dengan sekte yang
lainnya yang menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa didalam tubuh
masyarakat Bali Aga.
Inilah yang merupakan salah
satu faktor penyebab terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat
yang membawa dampak negative pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Akibat yang bersifat negative ini bukan saja menimpa desa bersangkutan, tetapi
meluas sampai pada pemerintahan kerajaan sehingga roda pemerintahan menjadi
kurang lancar dan terganggu. Dalam kondisi seperti itu, Raja Gunaprya
Dharmapatni/Udayana Warmadewa perlu mendatangkan rohaniawan dari Jawa Timur
yang oleh Gunaprya Dharmapatni sudah dikenal sejak dahulu semasih beliau ada di
Jawa Timur. Oleh karena itu Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa
bersekepatan untuk mendatangkan 4 orang Brahmana bersaudara yaitu:a. Mpu
Semeru, dari sekte Ciwa tiba di Bali pada hari jumat Kliwon, wuku Pujut,
bertepatan dengan hari Purnamaning Kawolu, candra sengkala jadma siratmaya muka
yaitu tahun caka 921 (999M) lalu berparhyangan di Besakih.b. Mpu Ghana,
penganut aliran Gnanapatya tiba di Bali pada hari Senin Kliwon, wuku Kuningan tanggal
7 tahun caka 922 (1000M), lalu berparhyangan di Gelgelc.
Mpu Kuturan, pemeluk agama
Budha dari aliran Mahayana tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon wuku pahang,
maduraksa (tanggal ping 6), candra sengkala agni suku babahan atau tahun caka
923 (1001M), selanjutnya berparhyangan di Cilayukti (Padang)d. Mpu Gnijaya,
pemeluk Brahmaisme tiba di Bali pada hari Kamis Umanis, wuku Dungulan,
bertepatan sasih kadasa, prati padha cukla (tanggal 1), candra sengkala mukaa
dikwitangcu (tahun caka 928 atau 1006M) lalu berparhyangan di bukit Bisbis
(Lempuyang)Sebenarnya keempat orang Brahmana ini di Jawa Timur bersaudara 5
orang yaitu adiknya yang bungsu bernama Mpu Bharadah ditinggalkan di Jawa Timur
dengan berparhyangan di Lemahtulis, Pajarakan. Kelima orang Brahmana ini lazim
disebut Panca Pandita atau “Panca Tirtha” karena beliau telah melaksanakan
upacara “wijati” yaitu menjalankan dharma “Kabrahmanan”. Dalan suatu rapat
majelis yang diadakan di Bata Anyar yang dihadiri oleh unsur tiga kekuatan pada
saat itu, yaitu :o Dari pihak Budha Mahayana diwakili oleh Mpu Kuturan yang
juga sebagai ketua sidango Dari pihak Ciwa diwakili oleh Mpu Semeruo Dari pihak
6 sekte yang pemukanya adalah orang Bali AgaDalam rapat majelis tersebut Mpu
Kuturan membahas bagaimana menyederhanakan keagamaan di Bali, yg terdiri dari
berbagai aliran.
Tatkala itu semua hadirin
setuju untuk menegakkan paham Tri Murti (Brahma,Wisnu,Ciwa) untuk menjadi inti
keagamaan di Bali dan yang layak dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi
dari Sang Hyang Widhi Wasa.Konsesus yang tercapai pada waktu itu menjadi
keputusan pemerintah kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali
ditampung dalam satu wadah yang disebut “Ciwa Budha” sebagai persenyawaan Ciwa
dan Budha.Semenjak itu penganut Ciwa Budha harus mendirikan tiga buah bangunan
suci (pura) untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya yang
masing-masing bernama: Pura Desa Bale Agung untuk memuja kemuliaan Brahma
sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan)ØPura Puseh untuk memuja
kemulian Wisnu sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa ØPura Dalem untuk
memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu caktinya Bhatara Ciwa sebagai perwujudan
dari Sang Hyang Widhi WasaKetiga pura tersebut disebut Pura “Kahyangan Tiga”
yang menjadi lambang persatuan umat Ciwa Budha di Bali. Dalam Samuan Tiga juga
dilahirkan suatu organisasi “Desa Pakraman” yang lebih dikenal sebagai “Desa
Adat”.
Dan sejak saat itu berbagai
perubahan diciptakan oleh Mpu Kuturan, baik dalam bidang politik, social, dan
spiritual. Jika sebelum keempat Brahmana tersebut semua prasasti ditulis dengan
menggunakan huruf Bali Kuna, maka sesudah itu mulai ditulis dengan bahasa Jawa
Kuna (Kawi).
Akhirnya di bekas tempat rapat itu dibangun sebuah
pura yang diberi nama Pura Samuan Tiga.Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai
pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep
Trimurti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura
Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg
(Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih.
Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal
(pangider-ider).
4. MPU
MANIK ANGKERAN
Setelah Mpu Sangkulputih
moksah, tugas-tugas beliau diganti oleh Mpu Manik Angkeran. Beliau adalah
Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra. Dengan maksud agar
putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh
luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan
memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu
disebut segara rupek.
5. MPU
JIWAYA
Beliau menyebarkan Agama Budha
Mahayana aliran Tantri terutama kepada kaum bangsawan di zaman Dinasti
Warmadewa (abad ke-9). Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk
kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan
pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dll.
6. DANGHYANG
DWIJENDRA
Datang di Bali pada abad ke-14
ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Atas wahyu Hyang
Widhi di Purancak, Jembrana, Beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang
bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi
dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Bentuk
bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana. Jika konsep Trimurti dari
Mpu Kuturan adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan horizontal, maka konsep
Tripurusa adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan vertikal. Ketika itu Bali
Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat ditata
dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan
adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap
soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat, organisasi subak
ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan. Selain itu beliau juga
mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk
tulisan lontar, kidung atau kekawin.
Karya sastra beliau yang
terkenal antara lain : Sebun bangkung, Sara kusuma, Legarang, Mahisa langit,
Dharma pitutur, Wilet Demung Sawit, Gagutuk menur, Brati Sesana, Siwa Sesana,
Aji Pangukiran, dll. Beliau juga aktif mengunjungi rakyat di berbagai pedesaan
untuk memberikan Dharma wacana. Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya
Pura-Pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing
umat misalnya :
- Pura Purancak,
- Pura Rambut siwi,
- Pura Pakendungan,
- Pura Hulu watu,
- Pura Bukit Gong,
- Pura Bukit Payung,
- Pura Sakenan,
- Pura Air Jeruk,
- Pura Tugu,
- Pura Tengkulak,
- Pura Gowa Lawah,
- Pura Ponjok Batu,
- Pura Suranadi (Lombok),
- Pura Pangajengan,
- Pura Masceti,
- Pura Peti Tenget,
- PuraAmertasari,
- Pura Melanting,
- Pura Pulaki,
- Pura Bukcabe,
- Pura Dalem Gandamayu,
- Pura Pucak Tedung, dll.
Ke-enam tokoh suci tersebut telah memberi ciri yang khas pada kehidupan
beragama Hindu di Bali sehingga terwujudlah tattwa dan ritual yang khusus yang
membedakan Hindu-Bali dengan Hindu di luar Bali.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas secara singkat dapat
dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Agama Hindu
sebagai agama yang tertua tumbuh dan berkembang tidak terlepas dengan pengaruh
dan dukungan lingkungan alam dan budaya dari suatu masyarakat pendukungnya.
Demikianlah pada awalnya tidak terlepas dari peradaban lembah Sindhu dan
pengaruh lokal di India Utara, Selatan atau Timur.
2. Nama Hindu
bukanlah nama asli dari agama ini, melainkan diberikan oleh orang asing yang
mengadakan kontak dengan bangsa Àrya yang pertama kali menetap di lembah sungai
Sindhu kemudian menyebar ke berbagai penjuru India dan berasimilasi
dengan berbagai suku bangsa asli di anak benua tersebut. Hinduisme
kemudian berkembang di Nusantara (Indonesia) termasuk Bali dengan warna luarnya
sendiri.
3. Nama asli agama
Hindu adalah Sanàtana Dharma (karena ajarannya bersifat abadi dan berlaku
sepanjang masa). Nama lainnya adalah Vaidika Dharma, karena bersumber pada
kitab suci Veda.
4. Karakteristik
agama Hindu memberikan kebebasan kepada umat-Nya, namun masih dalam koridor
yang disebut Àdikara (disiplin diri) dan Iûþadevatà (aspek Tuhan Yang Maha Esa,
yang dipuja dan sangat didambakan kasih dan karunia-Nya.
5.
Dalam perkembangan agama Hindu dikenal adanya berbagai Sampradaya yang oleh
orang Barat disebut Sekta, dan yang sangat dominan dan juga berpengaruh ke
Indonesia adalah Úaiva,Vaiûóava dan Úakta sedang di Bali yang dominan adalah
Úaiva Siddhanta (Tri Murti) yang sangat kental mendapat pengaruh Tantrik.
3.2 Saran
Adapun saran yang dapat
diberikan berdasarkan makalah ini adalah :
- Para orang tua agar dapat membantu memberikan pengetahun-pengetahuan atau cerita-cerita yang bertemakan Agama Hindu kepada anak-anak mereka dirumah sehingga nantinya cerita ini dapat menjadi sesuatu yang bermanfaat dan memiliki nilai religi tersendiri.
- Generasi muda Bali hendaknya lebih memperhatikan dan mempelajari sejarah perkembangan Agama Hindu supaya nantinya dapat dilestarikan dan meneruskannya ke generasi berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Sudirga Ida Bagus, dkk. 2005. Widya
Dharma Agama Hindu untuk Kelas X SMA. Ganeca Exact.Denpasar
Agama Hindu banyak mempraktekan ritual upacara dan perenungan dalam menjalankan ibadahnya
ReplyDelete