Wednesday, 19 March 2014




Kulkul atau kentongan (Jawa) merupakan instrumen musik yang bisa dibuat dari kayu ataupun bambu. Secara spesifik, kayu yang dapat dipergunakan sebagai bahan kulkul adalah: kayu ketewel (nangka), kayu teges (jati), kayu camplung, dan kayu intaran gading (batang pohon pandan yang sudah tua). Untuk mendapatkan kulkul yang baik, maka dipilihlah kayu atau bahan yang baik pula, karena dengan bahan yang baik dapat memberikan kualitas suara yang baik pula. Kayu terbaik untuk dipergunakan sebagai bahan kulkul adalah kayu nangka (artocarpus heterophyllus). Hal ini disebabkan karena serat kayu nangka lebih padat dibandingkan dengan kayu yang lainnya, sehingga dapat menghasilkan suara yang lebih padat dan bagus.   

Kulkul berbentuk bulat memanjang, di mana pada bagian tengah tubuhnya terdapat rongga suara yang berfungsi sebagai resonator. Alat musik ini dikelompokkan ke dalam golongan idiophone sebab sumber suaranya berasal dari getaran tubuhnya sendiri. Ukuranya bervariatif, ada yang panjangnya hanya ½ meter dengan lebar lingkaran 10 cm, tapi ada juga yang lebih dari 1 meter dengan lebar lingkaran 100 cm. Biasanya kulkul yang berukuran besar ditempatkan (digantung) di pos-pos siskamling, banjar-banjar atau pura-pura.   
Sesungguhnya budaya kentongan terdapat di seluruh daerah  di Nusantara sebagai sarana komunikasi. Sebut saja di Pulau Jawa misalnya, instrumen kentongan biasa difungsikan untuk sarana siskamling atau dijadikan sarana membangunkan orang puasa ketika bulan Ramadhan. Namun hal ini kiranya tidak terjadi di Bali. Keberadaan kulkul di Pulau Dewata secara umum diposisikan sesuai kegunaannya di dalam kehidupan masyarakat.
·                     Makna kulkul dalam kontek religi bagi umah Hindu ?
Kulkul atau Kentongan bagi umat Hindu dianggap memiliki unsur religius karena keberadaannya selalu ditempatkan di pura-pura dan disakralkan oleh masyarakat. Sebagai instrumen perkusi, keberadaan kulkul sakral tersebut tidak bisa dilepaskan dari odalan, karena selalu difungsikan sebagai sarana upacara. Makna simbol bunyi yang disuarakan oleh kuklul pada peristiwa odalan adalah untuk memeriahkan suasana atau dengan kata lain berfungsi sebagai alat musik penyambutan turunnya Tuhan atau Ida Sang Hyang Widi Wasa. Nilai sakral tersebut terutama berada pada kulkul yang tersimpan di Pura-pura besar di Bali yang dianggap sebagai wujud nyata beryadnya sehingga apabila terjadi penyimpangan dalam penggunaannya maka segera upacara penyucian dilakukan. Oleh karena itu kulkul diletakkan pada sebuah bangunan yang disebut ’Bale Kulkul’, tepatnya digantungkan pada sudut depan pekarangan pura atau banjar
Selain itu kulkul juga dianggap religius (terutama kulkul yang ada di pura-pura) karena proses pembuatannya tidak sembarangan dan tidak sembarang orang juga dapat membuat kulkul tersebut (terutama kulkul yang terbuat dari kayu). Ritual pembuatan kulkul bagi umat Hindu Bali menggunakan istilah "ala ayuning dewasa" artinya dewasa yang baik dan dewasa yang kurang baik. Kedua hal ini sulit dipisahkan bahkan selalu berdampingan. Demikian pula dalam pembuatan sebuah kulkul dari kayu biasa menjadi sebuah alat bunyian bernilai sakral dan keramat, harus mengalami pemrosesan yang cukup panjang. Dimulai dari mencari bahan, menebang kayu sampai kepada proses pembuatannya harus melalui serentetan upacara. Para pembuat kulkul harus melakukan tahap-tahap upacara guna mencari dewasa yang baik dan menghindari dewasa yang kurang baik, dari awal hingga akhir pembuatan kulkul. Sampai kepada tahap melepaskan sebuah kulkul juga harus melalui sebuah upacara. Apabila tahapan upacara sudah dilaksanakan maka kulkul telah memiliki kekuatan magis dan dianggap sebagai benda suci serta keramat.
Jadi kulkul tersebut terkait erat dalam masyarakat Bali. Dapat dikatakan hampir seluruh kegiatan yang dilakukan masyarakat Bali mengikutsertakan kulkul. Seperti dalam pemanggilan para Dewa dan Bhuta Kala didahului dengan membunyikan kulkul. Kulkul diyakini mengandung kekuatan magis dan dianggap keramat oleh penduduknya. Kulkul adalah alat komunikasi tradisional, antara manusia dengan dewa, manusia dengan penguasa alam, dan manusia dengan sesamanya. Kulkul diyakini juga dapat meningkatkan rasa kesatuan dan persatuan. Hal ini terlihat dari rasa kebersamaan dan kekeluargaan seluruh warga ketika mendengar bunyi kulkul. Oleh sebab itu, keberadaan kulkul pada masyarakat Bali dipandang religius dan perlu dilestarikan karena sangat membantu jalannya pelaksanaan suatu upacara yadnya suatu kegiatan kemanusiaan dan lain sebagaiannya.
·                     Ditinjau dari ilmu pengetahuan apa hubungannya dengan kulkul !
Ditinjau dari ilmu pengetahuan penggunaan kulkul pada masyarakat Hindu Bali sudah terlacak sejak lama, terbukti istilah kulkul ditemukan dalam syair Jawa-Hindu Sufamala. Beberapa lontar Bali, juga menyebutkan keberadaan kulkul seperti Awig-awig Desa Sarwaada, Markandeya Purana, dan Diwa Karma. Keempat naskah kuno Bali ini, mengungkapkan pentingnya kayu, yang bermakna pikiran dalam kehidupan manusia, yang biasa disebut dengan kulkul. Kayu adalah bahan dasar dari kulkul yang erat hubungannya dengan manusia. Kulkul lebih dominan menggunakan kayu sebagai bahannya karena kayu mempunyai maksud agar pemikiran (dalam bahasa Bali disebut kayun) para anggota benar-benar menyatu dalam alat komunikasi tradisional tersebut dan juga supaya kulkul dapat bertahan lama tidak cepat lapuk. Selain itu penggunaan kulkul juga disebabkan karena pada zaman dahulu tidak ada alat komunikasi yang dapat menghubungi warganya satu persatu semisal zaman sekarang seperti handphone. Jadi masyarakat pada waktu itu memilih kulkul sebagai alat komunikasi karena suara kulkul terdengan keras sampai ke ujung desa.
Keberadaan kulkul lebih dekat dengan kehidupan masyarakat, maka kulkul ini memiliki peran cukup signifikan. Secara fungsional disimbolkan sebagai sarana menciptakan kebersamaan dan persatuan, karena setiap masyarakat akan selalu mematuhi simbol-simbol bunyi yang disuarakan dari kulkul tersebut. Bisa jadi kenyataan ini tidak lepas dari makna bunyi yang terkandung dalam kulkul, secara tidak langsung merupakan perjanjian tidak tertulis antara kulkul dengan masyarakat.
Pada umumnya jumlah kentongan yang digantung pada Bale kulkul yang ada di Bali adalah dua buah. ini maksudnya untuk mencerminkan dan jenis kelamin anggota organisasi tersebut yaitu terdiri dan lelaki dan perempuan. Apabila kegiatan ini hanya melibatkan anggota perempuan, maka yang akan dibunyikan adalah kentongan yang beridentitas perempuan. Demikian pula sebaliknya apabila kegiatan hanya melibatkan anggota laki-laki, maka kentongan yang dibunyikan adalah kentongan yang beridentitas laki-laki. Tetapi kalau kegiatan melibatkan laki perempuan, maka kedua kentongan yang harus dibunyikan. Untuk membedakan antara kedua jenis kentongan menurut identitasnya dapat dilihat bahwa dari ukuran besar kecil, suara penabuhnya.
. Walau zaman telah mengalami perkembangan begitu pesat khususnya dalam bidang komunikasi dengan masuknya beragam teknologi baru seperti telepon, telepon sellular, dan layanan pesan singkat, namun keberadaan kulkul di Bali akan tetap eksis dan tidak akan pernah bisa tergantikan. Hal tersebut bisa dilihat di setiap wilayah banjar yang masih memiliki kulkul sebagai sarana upacara dan komunikasi. Fenomena seperti ini terjadi karena masyarakat Bali menganggap bahwa kulkul memiliki makna simbolik tersendiri dalam tatanan kehidupan kemasyarakatan. Dengan demikian, peranan kulkul sebagai media komunikasi tradisional masyarakat Bali sangatlah besar. Kulkul berperan untuk menyampaikan simbol-simbol atau kode-kode yang dapat dimaknai secara langsung seperti ritme pukulan maupun nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya, seperti rasa persatuan dan kesatuan, kepada seluruh masyarakat Bali.

0 comments:

Post a Comment