Tuesday 29 November 2011


TUGAS ILMU SOSIAL DASAR 

Bali adalah nama salah satu provinsi di Indonesia dan juga merupakan nama pulau terbesar yang menjadi bagian dari provinsi tersebut. Selain terdiri dari Pulau Bali, wilayah Provinsi Bali juga terdiri dari pulau-pulau yang lebih kecil di sekitarnya, yaitu Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa Ceningan dan Pulau Serangan.
Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Ibukota provinsinya ialah Denpasar yang terletak di bagian selatan pulau ini. Mayoritas penduduk Bali adalah pemeluk agama Hindu. Di dunia, Bali terkenal sebagai tujuan pariwisata dengan keunikan berbagai hasil seni-budayanya, khususnya bagi para wisatawan Jepang dan Australia. Bali juga dikenal dengan sebutan Pulau Dewata ,Pulau Seribu Pura dan Pulau Religius.

·        Mengapa Bali disebut sebagai Pulau Dewata

Bali disebut sebagai Pulau Dewata karena sebagian besar penduduk Bali memeluk agama Hindu. Agama Hindu mengenal banyak Dewa sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Widhi Wasa) di dalam melaksanakan kekuasaan yang tak terbatas atas alam semesta. Dewa-Dewa atau tuhan tersebut melinggih (berstana) di setiap benda yang ada di alam semesta ini. Dari keyakinan tersebut maka umat hindu memiliki hari raya hari raya tertentu untuk menghormati dewa yang melinggih di dalam suatu benda tersebut. Dan juga di setiap hari rayanya umat Hindu akan mempersembahkan sesajen atau yang lebih dikenal di bali sebagai banten kepada dewa yang melinggih di tempat-tempat tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dewata berarti  dewa, sifat dewa, atau kedewaan. Jadi “pulau  dewata” mengandung arti  pulau  yang berhubungan dengan  sifat dewa atau sifat kedewaan. Penduduk  Bali sangat kuat berpegang pada ajaran agama Hindu yang mempercayai adanya tiga dewa atau Tri Murti yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa ketiga dewa tersebut merupakan dewa sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur. Selain itu masyarakat Hindu Bali juga memiliki kepercayaan akan Animisme yaitu percaya akan roh-roh leluhur, Dinamisme yaitu kepercayaan akan alam gaib dan Totemmisme yaitu kepercayaan akan kekuatan-kekuatan yang ada di alam semesta. Jadi akibat dari kepercayaan tersebut maka umat Hindu akan selalu melakukan dan mempersembahkan yadnya kepada Tuhan yang melinggih (berstana) di tempat-tempat yang dianggap suci atau angker. Selain hal diatas Kenapa di Bali juga disebut sebagai Pulau Dewata karena di Bali masyarakatnya melaksanakan Panca Yadnya
Panca Yadnya adalah lima jenis karya suci yang diselenggarakan oleh umat Hindu di dalam usaha mencapai kesempurnaan hidup. Adapun Panca Yadnya atau Panca Maha Yadnya tersebut terdiri dari:
1.      Dewa Yadnya.
Ialah suatu korban suci/ persembahan suci kepada Sang Hyang Widhi Wasa dan seluruh manifestasi- Nya yang terdiri dari Dewa Brahma selaku Maha Pencipta, Dewa Wisnu selaku Maha Pemelihara dan Dewa Siwa selaku Maha Pralina (pengembali kepada asalnya) dengan mengadakan serta melaksanakan persembahyangan Tri Sandhya (bersembahyang tiga kali dalam sehari) serta Muspa (kebaktian dan pemujaan di tempat- tempat suci). Korban suci tersebut dilaksanakan pada hari- hari suci, hari peringatan (Rerahinan), hari ulang tahun (Pawedalan) ataupun hari- hari raya lainnya seperti: Hari Raya Galungan dan Kuningan, Hari Raya Saraswati, Hari Raya Nyepi dan lain- lain.
2.      Pitra Yadnya.
lalah suatu korban suci/ persembahan suci yang ditujukan kepada Roh- roh suci dan Leluhur (pitra) dengan menghormati dan mengenang jasanya dengan menyelenggarakan upacara Jenasah (Sawa Wedana) sejak tahap permulaan sampai tahap terakhir yang
disebut Atma Wedana. Adapun tujuan dari pelaksanaan Pitra Yadnya ini adalah demi pengabdian dan bakti yang tulus ikhlas, mengangkat serta menyempurnakan kedudukan arwah leluhur di alam surga. Memperhatikan kepentingan orang tua dengan jalan mewujudkan rasa bakti, memberikan sesuatu yang baik dan layak, menghormati serta merawat hidup di harituanya juga termasuk pelaksanaan Yadnya. Hal tersebut dilaksanakan atas kesadaran bahwa sebagai keturunannya ia telah berhutang kepada orangtuanya (leluhur) seperti:
    1. Kita berhutang badan yang disebut dengan istilah Sarirakrit.
    2. Kita berhutang budi yang disebut dengan istilah Anadatha.
    3. Kita berhutang jiwa yang disebut dengan istilah Pranadatha.
3.      Manusa Yadnya.
Adalah suatu korban suci/ pengorbanan suci demi kesempurnaan hidup manusia.
Di dalam pelaksanaannya dapat berupa Upacara Yadnya ataupun selamatan, di antaranya ialah:
    1. Upacara selamatan (Jatasamskara/ Nyambutin) guna menyambut bayi yang baru lahir.
    2. Upacara selamatan (nelubulanin) untuk bayi (anak) yang baru berumur 3 bulan (105 hari).
    3. Upacara selamatan setelah anak berumur 6 bulan (oton/ weton).
    4. Upacara perkawinan (Wiwaha) yang disebut dengan istilah Abyakala/ Citra Wiwaha/ Widhi-Widhana.

Di dalam menyelenggarakan segala usaha serta kegiatan- kegiatan spiritual tersebut masih ada lagi kegiatan dalam bentuk yang lebih nyata demi kemajuan dan kebahagiaan hidup si anak di dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan lain- lain guna persiapan menempuh kehidupan bermasyarakat. Juga usaha di dalam memberikan pertolongan dan menghormati sesama manusia mulai dari tata cara menerima tamu (athiti krama), memberikan pertolongan kepada sesama yang sedang menderita (Maitri) yang diselenggarakan dengan tulus ikhlas adalah termasuk Manusa Yadnya.
  1. Resi Yadnya.
Adalah suatu Upacara Yadnya berupa karya suci keagamaan yang ditujukan kepada para Maha Resi, orang- orang suci, Resi, Pinandita, Guru yang di dalam pelaksanaannya dapat diwujudkan dalam bentuk:
    1. Penobatan calon sulinggih menjadi sulinggih yang disebut Upacara Diksa.
    2. Membangun tempat- tempat pemujaan untuk Sulinggih.
    3. Menghaturkan/ memberikan punia pada saat- saat tertentu kepada Sulinggih.
    4. Mentaati, menghayati, dan mengamalkan ajaran- ajaran para Sulinggih.
    5. Membantu pendidikan agama di dalam menggiatkan pendidikan budi pekerti luhur, membina, dan mengembangkan ajaran agama.
5.      Bhuta Yadnya.
Adalah suatu korban suci/ pengorbanan suci kepada sarwa bhuta yaitu makhluk- makhluk rendahan, baik yang terlihat (sekala) ataupun yang tak terlihat (niskala), hewan (binatang), tumbuh- tumbuhan, dan berbagai jenis makhluk lain yang merupakan ciptaan Sang Hyang Widhi Wasa.
Adapun pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya ini dapat berupa: Upacara Yadnya (korban suci) yang ditujukan kepada makhluk yang kelihatan/ alam semesta, yang disebut dengan istilah Mecaru atau Tawur Agung, dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan, kelestarian antara jagat raya ini dengan diri kita yaitu keseimbangan antara makrokosmos dengan mikrokosmos.
Di dalam pelaksanaan yadnya biasanya seluruh unsur- unsur Panca Yadnya telah tercakup di dalamnya, sedangkan penonjolannya tergantung yadnya mana yang diutamakan.
Melauli Panca Yadnya inilah masyarakat Hindu Bali memohon keselamatan dan kedamaian di dunia. Jadi Sebutan ‘Pulau Dewata’ bukan saja karena alamnya yang indah dan banyak pura tempat persemayaman para dewa. Tetapi lebih pada cerminan kondisi masyarakat Bali yang sangat religius dan kehidupannya penuh nilai-nilai keagamaan yang suci.


·        Mengapa Bali disebut sebagai Pulau Seribu Pura

Bali disebut sebagai Pulau Seribu Pura karena di Bali hampir di setiap rumah penduduk ada pura yang disebut pura keluarga dan juga ada pura-pura yang bersifat umum yang jumlahnya ribuan. Adanya ribuan pura di Bali sebagai sarana untuk memuja Tuhan dengan segala manifestasinya. Pura di samping sebagai sarana memuja Tuhan juga sebagai sistem penataan kehidupan sosial dengan segala dimensinya. Memuja Tuhan haruslah dapat dimaknai untuk menata kehidupan bersama untuk mencapai sistem sosial yang dinamis dan harmonis mewujudkan tujuan hidup mencapai dharma, artha, kama dan moksha.
Karena itu di Bali ada empat jenis pura berdasarkan karakternya. Ribuan pura yang ada di Bali itu sesungguhnya dapat dikelompokkan menjadi empat jenis berdasarkan karakternya. Empat jenis pura itu adalah Pura Kawitan, Pura Kahyangan Desa, Pura Swagina dan Pura Kahyangan Jagat. Empat jenis pura itu di samping sebagai media pujaan juga sebagai media membangun empat jenis kerukunan. Empat jenis kerukunan itu adalah kerukunan famili di Pura Kawitan. Kerukunan teritorial di Pura Kahyangan Desa. Kerukunan profesional di Pura Swagina dan kerukunan universal di Pura Kahyangan Jagat.
Di Pura Kawitan dibangun kerukunan famili dari tingkat keluarga inti sampai ke tingkat satu keturunan darah. Yang dimaksud dengan Pura Kawitan itu seperti Merajan Kamulan, Merajan Gede, Pura Ibu, Pura Panti/Dadia, Pura Padharman dan juga Pura Kawitan. Ada juga yang disebut Pura Batur. Pura Batur pemujaan keluarga ini tidak ada hubungannya dengan Pura Batur Kahyangan Jagat di Kintamani itu. Jadinya lewat pemujaan di Pura Kawitan itulah dibangun kerukunan famili secara bertahap dari tingkat keluarga inti sampai keluarga dalam satu keturunan darah.
Pura Kahyangan Desa itu adalah pura yang menjadi tempat pemujaan bersama umat yang berada di wilayah desa pakraman. Pura ini misalnya Pura Kahyangan Tiga (Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem). Pura Kahyangan Tiga ini sebagai pura inti di desa pakraman. Ada juga pura yang menjadi sarana pemujaan umat di desa pakraman seperti Pura Penataran dan Pura-pura lainnya sesuai dengan sejarah keberadaan desa pakraman bersangkutan.
Di Pura Swagina dibangun kerukunan profesional. Artinya, Pura Swagina ini sebagai sarana pemujaan mereka yang memiliki kesamaan profesi. Jenis pura ini misalnya Pura Melanting. Pura Melanting ini sebagai sarana pemujaan para pedagang. Umumnya pura ini dibangun pada bagian hulu atau di tengah pasar. Tujuannya di samping sebagai media memuja Tuhan sebagai Dewi Laksmi juga untuk membangun kerukunan para pedagang di pasar agar mereka berdagang dengan baik dan bersaing dengan jujur dan sehat.
Ada juga jenis Pura Subak dengan berbagai nama sebagai sarana pemujaan para petani. Di Pura Subak inilah para petani mengembangkan kehidupan bersamanya yang dinamis untuk memajukan fungsi pertanian membangun kemakmuran masyarakat. Dewasa ini di berbagai areal kantor dibangun tempat pemujaan dalam wujud Padma Sari. Tempat pemujaan di berbagai kantor ini pun tergolong Pura Swagina karena menjadi sarana pemujaan umat yang seprofesi bekerja di kantor tersebut.
Di Pura Kahyangan Jagat di samping sebagai sarana memuja Tuhan dalam berbagai manifestasinya, juga sebagai sarana membangun kerukunan universal. Pura Kahyangan Jagat ini sebagai sarana pemujaan umat secara umum. Di Pura Kahyangan Jagat ini umat tidak dibeda-bedakan asal-usul keluarganya, asal-usul desa pakramannya dan juga profesinya. Siapa pun boleh menjadikan Pura Kahyangan Jagat sebagai sarana pemujaan asal sesuai dengan etika yang berlaku di Pura Kahyangan Jagat tersebut.
Jadi, ribuan pura yang ada di Pulau Bali ini di samping sebagai sarana pemujaan juga sebagai sarana sosial membangun empat tingkat kerukunan umat agar dapat hidup bersama secara dinamis untuk mencapai keharmonisan yang produktif lahir batin.


·        Mengapa Bali disebut sebagai Pulau Religius
Bali disebut sebagai Pulau Religius karena di Bali hampir setiap hari ada upacara/rahinan, dimulai dari upacara sederhana sampai dengan upacara besar agama Hindu. Upacara besar agama Hindhu disebut upacara agama dimana seluruh masyarakat Bali melakasanakan seperti; Galungan, Kuningan, Nyepi, dan hari besar umat Hindhu lainnya. Sedangkan upacara sederhana disebut upacara agama dimana hanya keluarga tertentu saja yang melaksanakannya, seperti Melaspas, odalan, dan lain-lain. Upacara –upacara yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali harus berdasarkan sasih atau pawukon yang telah ada, sehingga masyarakat Bali tidak secara asal-asalan melaksanakan dan membuat suatu upacara keagamaan. Upacara-upacara di Bali sangat banyak jenisnya yaitu ada upacara Dewa Yadnya, Manusia Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya dan Bhuta Yadnya. Demikian Upacara Panca Yadnya yang dilaksanakan oleh Umat Hindu di Bali sampai sekarang yang mana semua aktifitas kehidupan sehari-hari masyakat Hindu di Bali selalu didasari atas Yadnya baik kegiatan dibidang sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, pertanian, keamanan dan industri semua berpedoman pada ajaran-ajaran Agama Hindu yang merupakan warisan dari para leluhur Hindu di Bali.
Umat Hindu yang ada di Bali sangat mempercayai keberadaan Ida Sang Hyang Widi Wasa sehingga orang luar yang datang ke Bali merasa heran kenapa setiap hari selalu ditemui sesajen baik di depan rumah di kendaraan maupun di tempat-tempat lainnya. Dari pengamatan-pengamatan yang dilakukan secara lagsung tadi maka para wisatawan yang datang ke Bali memberikan julukan bahwa Bali itu adalah tempat yang religius.
Next
Newer Post
Previous
This is the last post.

0 comments:

Post a Comment